Parameter Biologis


Dalam pengobatan kanker, baik faktor fisiologis maupun psikologis telah diteliti kemampuannya untuk memprediksi waktu bertahan hidup. Faktor fisiologis meliputi berbagai parameter klinis dan laboratorium, seperti usia, jenis kelamin, status kinerja, stadium tumor, kadar albumin serum, dan penanda biologis lainnya. Faktor psikologis mencakup berbagai ukuran tekanan emosional, seperti depresi, kecemasan, dan keputusasaan, serta kualitas hidup dan kesejahteraan spiritual.

Studi telah menunjukkan bahwa faktor fisiologis dan psikologis dapat berkontribusi pada keakuratan perkiraan waktu bertahan hidup pada pasien kanker. Sebagai contoh, beberapa penelitian telah menemukan bahwa menggabungkan faktor fisiologis, seperti status kinerja dan kadar albumin serum, dengan faktor psikologis, seperti depresi dan kualitas hidup, dapat meningkatkan akurasi estimasi waktu kelangsungan hidup dibandingkan dengan menggunakan faktor fisiologis saja.

Selain itu, faktor psikologis juga dapat memiliki implikasi penting bagi kualitas hidup dan kesejahteraan pasien secara keseluruhan. Misalnya, mengatasi gejala depresi, kecemasan, dan keputusasaan dapat meningkatkan suasana hati pasien, meningkatkan keterampilan koping mereka, dan meningkatkan rasa makna dan tujuan dalam hidup mereka, yang dapat berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik secara keseluruhan.

Secara keseluruhan, penyelidikan faktor fisiologis dan psikologis pada pasien kanker dapat membantu dokter mengembangkan pendekatan yang lebih akurat dan holistik untuk memperkirakan waktu bertahan hidup dan memberikan perawatan suportif yang disesuaikan dengan kebutuhan, nilai, dan tujuan unik pasien.

 

Penilaian aktuaria adalah metode statistik yang digunakan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa berdasarkan data historis dan teori probabilitas. Dalam perawatan kesehatan, penilaian aktuaria sering digunakan untuk memprediksi hasil seperti kematian atau perkembangan penyakit berdasarkan berbagai faktor klinis dan laboratorium. Pendekatan ini melibatkan penggunaan model atau alat prediktif, seperti Indeks Prognostik Paliatif (PPI) atau Skor Prognostik Glasgow (GPS), yang menggabungkan berbagai faktor yang telah terbukti terkait dengan hasil yang diinginkan.

Penilaian aktuaria biasanya didasarkan pada kumpulan data besar dan model statistik yang dapat memberikan perkiraan hasil yang lebih objektif dan standar dibandingkan dengan penilaian klinis, yang bergantung pada pengalaman dan keahlian dokter. Namun, penting untuk dicatat bahwa penilaian aktuaria mungkin tidak selalu memperhitungkan variasi individu dalam perkembangan penyakit atau respons terhadap pengobatan, dan mungkin tidak memperhitungkan aspek unik dari penyakit pasien yang tidak ditangkap oleh model statistik. Oleh karena itu, penilaian aktuaria harus digunakan bersama dengan penilaian klinis dan nilai serta preferensi pasien untuk memberikan perkiraan hasil yang paling akurat dan individual.

 

Penilaian aktuaria dan penilaian klinis keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan dalam memprediksi waktu bertahan hidup pada kanker stadium lanjut. Penilaian aktuaria mengacu pada penggunaan model atau alat statistik, seperti Indeks Prognostik Paliatif (PPI) atau Skor Prognostik Glasgow (GPS), untuk memperkirakan waktu kelangsungan hidup berdasarkan berbagai faktor klinis dan laboratorium. Penilaian klinis, di sisi lain, mengacu pada penilaian kondisi pasien oleh dokter berdasarkan pengalaman dan keahlian mereka.

Sementara model aktuaria dapat memberikan perkiraan waktu kelangsungan hidup yang lebih objektif dan standar, mereka mungkin tidak selalu memperhitungkan variasi individu dalam perkembangan penyakit atau respons terhadap pengobatan. Penilaian klinis, di sisi lain, dapat dipengaruhi oleh bias pribadi atau kesan subyektif, tetapi dapat mempertimbangkan aspek unik dari penyakit pasien yang tidak ditangkap oleh model statistik.

Beberapa penelitian telah membandingkan keakuratan penilaian aktuaria dan penilaian klinis dalam memprediksi waktu bertahan hidup pada kanker stadium lanjut, dengan hasil yang beragam. Beberapa studi telah menemukan bahwa model aktuaria lebih akurat daripada penilaian klinis, sementara yang lain tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua pendekatan tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa keakuratan penilaian aktuaria dan klinis dalam memprediksi waktu kelangsungan hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia pasien, status kinerja, dan stadium penyakit, serta ketersediaan dan kualitas perawatan suportif dan paliatif. . Oleh karena itu, pendekatan komprehensif dan individual yang mempertimbangkan penilaian aktuaria dan klinis, serta nilai dan preferensi pasien, cenderung memberikan perkiraan waktu kelangsungan hidup yang paling akurat dan berguna pada kanker stadium lanjut.

 

Beberapa parameter biologis telah ditemukan berhubungan dengan kelangsungan hidup pasien kanker stadium awal yang menjalani pengobatan. Berikut beberapa contohnya:

  • Ukuran dan stadium tumor: Ukuran dan stadium tumor merupakan faktor prognostik penting untuk banyak jenis kanker. Secara umum, pasien dengan tumor yang lebih kecil dan kanker stadium awal memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tumor yang lebih besar atau kanker yang lebih lanjut.
  • Histologi: Jenis kanker dan subtipe histologisnya juga dapat memengaruhi kelangsungan hidup. Beberapa subtipe histologis kanker memiliki hasil yang lebih baik daripada yang lain, dan beberapa jenis kanker mungkin lebih agresif dan sulit diobati.
  • Biomarker: Biomarker tertentu, seperti status reseptor hormon dan status HER2 pada kanker payudara, merupakan prediktor penting dari respon pengobatan dan kelangsungan hidup. Biomarker lain, seperti beban mutasi tumor atau ketidakstabilan mikrosatelit, sedang dipelajari sebagai prediktor potensial respon terhadap imunoterapi.
  • Faktor genetik: Faktor genetik, seperti adanya mutasi germline tertentu, dapat memengaruhi risiko pengembangan jenis kanker tertentu dan juga dapat memengaruhi respons pengobatan dan kelangsungan hidup.
  • Status kinerja: Status kinerja adalah ukuran kesehatan dan kemampuan keseluruhan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien dengan status kinerja yang lebih baik umumnya memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan status kinerja yang lebih buruk.
  • Komorbiditas: Adanya kondisi medis lain dapat memengaruhi respons pengobatan dan kelangsungan hidup secara keseluruhan pada pasien kanker.


Perlu dicatat bahwa pentingnya faktor-faktor ini dapat bervariasi tergantung pada jenis dan stadium kanker. Penting bagi pasien untuk bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan mereka untuk memahami faktor-faktor yang dapat memengaruhi prognosis mereka dan untuk mengembangkan rencana perawatan yang dipersonalisasi.

 

Pada kanker stadium lanjut, atau kanker stadium lanjut, beberapa variabel biologis dapat dievaluasi untuk menentukan prognosis dan memandu pengobatan. Berikut beberapa contohnya:

  • Penanda tumor: Penanda tumor adalah zat yang diproduksi oleh sel kanker yang dapat diukur dalam darah. Peningkatan kadar penanda tumor tertentu dapat menunjukkan adanya kanker atau menjadi tanda perkembangan penyakit. Contoh penanda tumor termasuk antigen spesifik prostat (PSA) untuk kanker prostat dan CA-125 untuk kanker ovarium.
  • Mutasi genetik: Mutasi genetik dapat dideteksi pada jaringan tumor dan dapat memandu keputusan pengobatan. Misalnya, beberapa mutasi dapat membuat sel kanker lebih sensitif terhadap jenis kemoterapi atau terapi target tertentu.
  • Fungsi kekebalan: Sistem kekebalan memainkan peran penting dalam perkembangan dan perkembangan kanker. Fungsi kekebalan dapat dievaluasi melalui tes darah, seperti jumlah limfosit dan kadar sitokin. Dalam beberapa kasus, imunoterapi dapat digunakan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan hasil pengobatan.
  • Penanda peradangan: Peradangan dikaitkan dengan perkembangan dan perkembangan kanker. Tes darah untuk penanda inflamasi, seperti protein C-reaktif (CRP), dapat digunakan untuk memantau perkembangan penyakit dan memandu keputusan pengobatan.
  • Status kinerja: Status kinerja adalah ukuran kesehatan dan kemampuan keseluruhan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pada kanker stadium lanjut, status kinerja pasien dapat menjadi prediktor penting untuk bertahan hidup dan dapat memandu keputusan pengobatan.


Penting untuk dicatat bahwa pentingnya variabel-variabel ini dapat bervariasi tergantung pada jenis dan stadium kanker, serta keadaan masing-masing pasien. Tim penyedia layanan kesehatan multidisiplin dapat membantu mengevaluasi variabel-variabel ini dan mengembangkan rencana perawatan yang dipersonalisasi untuk pasien dengan kanker stadium lanjut.

 

Memprediksi kelangsungan hidup pada pasien yang dirawat di unit perawatan paliatif dapat menjadi tugas yang menantang karena pasien ini seringkali memiliki kondisi medis yang kompleks dan prognosis yang bervariasi. Namun, ada beberapa parameter biologis yang dapat digunakan untuk memprediksi kelangsungan hidup saat masuk ke unit perawatan paliatif. Parameter ini mungkin termasuk:

  1. Status kinerja: Ini adalah ukuran status fungsional dan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Status kinerja yang lebih tinggi (yaitu, kemampuan untuk melakukan lebih banyak aktivitas secara mandiri) dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih baik.
  2. Status gizi: Pasien yang bergizi baik memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik daripada mereka yang kekurangan gizi.
  3. Tingkat hemoglobin: Kadar hemoglobin yang rendah dapat mengindikasikan anemia, yang dapat menjadi tanda kondisi medis yang mendasarinya yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup.
  4. Tingkat albumin serum: Tingkat albumin serum yang rendah dapat mengindikasikan kekurangan gizi dan peradangan, yang keduanya dapat mempengaruhi kelangsungan hidup.
  5. Tingkat protein C-reaktif (CRP): Peningkatan kadar CRP dapat mengindikasikan peradangan, yang dapat menjadi tanda kondisi medis yang mendasarinya yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup.
  6. Kadar kreatinin serum: Peningkatan kadar kreatinin serum dapat mengindikasikan disfungsi ginjal, yang dapat menjadi tanda kondisi medis yang mendasarinya yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup.
  7. Jumlah sel darah putih (WBC): Peningkatan jumlah WBC dapat mengindikasikan infeksi atau pembengkakan, yang dapat menjadi tanda kondisi medis yang mendasarinya yang dapat memengaruhi kelangsungan hidup.


Penting untuk dicatat bahwa nilai prediktif dari parameter ini dapat bervariasi tergantung pada populasi pasien dan kondisi medis yang mendasarinya. Oleh karena itu, penilaian yang komprehensif terhadap riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium diperlukan untuk membuat prediksi yang akurat tentang kelangsungan hidup saat masuk ke unit perawatan paliatif. 

 

Analisis multivariat adalah teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara banyak variabel sambil mengontrol pengaruh variabel lain. Dalam konteks memprediksi kelangsungan hidup saat masuk ke unit perawatan paliatif, analisis multivariat dapat membantu mengidentifikasi faktor biologis mana yang memiliki signifikansi prognostik independen ketika mempertimbangkan faktor lain yang relevan.

Setelah melakukan analisis multivariat, faktor biologis yang memiliki signifikansi prognostik independen dapat meliputi:

  •     Status kinerja
  •     kadar albumin serum
  •     Tingkat protein C-reaktif (CRP).
  •     Tingkat hemoglobin


Dalam sebuah studi oleh Morita et al. (2015), analisis multivariat faktor prediksi kelangsungan hidup pada pasien dengan kanker stadium lanjut yang dirawat di unit perawatan paliatif mengidentifikasi keempat faktor biologis ini sebagai indikator prognostik independen. Secara khusus, status kinerja yang lebih tinggi, kadar albumin serum yang lebih tinggi, kadar CRP yang lebih rendah, dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih baik.

Namun, penting untuk dicatat bahwa signifikansi prognostik independen dari faktor biologis ini dapat bervariasi tergantung pada populasi pasien dan kondisi medis yang mendasarinya. Oleh karena itu, penilaian yang komprehensif terhadap riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium diperlukan untuk membuat prediksi yang akurat tentang kelangsungan hidup saat masuk ke unit perawatan paliatif. 

 

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengembangkan model matematis yang dapat menggabungkan satu atau lebih faktor yang diketahui untuk memprediksi kelangsungan hidup pada pasien yang sakit parah. Tujuan dari model ini adalah untuk memberikan cara yang sederhana dan objektif untuk memperkirakan waktu kelangsungan hidup dan untuk memandu pengambilan keputusan klinis dalam perawatan paliatif.

Salah satu model yang paling banyak digunakan adalah Indeks Prognostik Paliatif (PPI), yang menggabungkan status kinerja, asupan oral, dan ada tidaknya edema atau delirium untuk memprediksi waktu bertahan hidup pada pasien dengan kanker stadium lanjut. Skor Prognostik Glasgow (GPS) dan Skor Prognostik Glasgow yang Dimodifikasi (mGPS) adalah contoh lain dari model yang menggabungkan penanda serum peradangan dan status gizi untuk memprediksi waktu bertahan hidup pada pasien kanker.

Model lain telah berusaha untuk mengintegrasikan berbagai parameter klinis, laboratorium, dan kualitas hidup ke dalam alat prognostik tunggal. Misalnya,
Supportive and Palliative Care Indicators Tool (SPICT) menggabungkan beberapa domain kebutuhan, termasuk gejala fisik, status fungsional, dukungan sosial, dan kesejahteraan psikologis, untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapat manfaat dari perawatan paliatif. Prognostic Nutritional Index (PNI) menggabungkan albumin serum dan jumlah limfosit sebagai penanda status gizi dan fungsi kekebalan untuk memprediksi waktu bertahan hidup pada pasien kanker.

Secara keseluruhan, model matematis ini memiliki potensi untuk memberikan panduan yang berharga bagi dokter dalam pengelolaan pasien yang sakit parah, khususnya dalam konteks prognostikasi dan pengambilan keputusan akhir hidup. Namun, utilitas mereka mungkin dibatasi oleh kompleksitas faktor yang mendasarinya, heterogenitas populasi pasien, dan potensi kesalahan dalam pengukuran dan interpretasi. Oleh karena itu, pertimbangan yang cermat terhadap keterbatasan dan kekuatan masing-masing model diperlukan sebelum menerapkannya dalam praktik klinis.

 

Ada potensi untuk menggabungkan berbagai faktor klinis dan laboratorium sederhana yang mudah dievaluasi dan diukur pada pasien kanker yang sakit parah untuk meningkatkan akurasi memprediksi kelangsungan hidup dalam perawatan paliatif. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kombinasi faktor sederhana yang mungkin berguna untuk memprediksi kelangsungan hidup, seperti:

  • Indeks Prognostik Paliatif (PPI): PPI adalah alat yang menggabungkan status kinerja, asupan oral, dan edema untuk memprediksi kelangsungan hidup pada pasien kanker stadium lanjut yang menerima perawatan paliatif. PPI telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal, dan mudah digunakan dalam praktik klinis.
  • Skor Prognostik Glasgow (GPS): GPS adalah alat yang menggabungkan protein C-reaktif (CRP) dan kadar albumin untuk memprediksi kelangsungan hidup pada pasien kanker. GPS telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal dalam berbagai jenis kanker, termasuk kanker paru-paru dan kanker pankreas.
  • Skor Prognostik Glasgow yang Dimodifikasi (mGPS): mGPS adalah modifikasi dari GPS yang menggabungkan level CRP dan albumin dengan penambahan level fibrinogen. mGPS telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker kerongkongan dan kanker kolorektal.
  • Indeks Nutrisi Prognostik (PNI): PNI adalah alat yang menggabungkan jumlah albumin dan limfosit untuk memprediksi kelangsungan hidup pada pasien kanker. PNI telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker lambung dan karsinoma hepatoseluler.


Dengan menggabungkan faktor-faktor klinis dan laboratorium sederhana ini, dimungkinkan untuk meningkatkan akurasi memprediksi kelangsungan hidup pada pasien kanker yang sakit parah. Namun, penting untuk dicatat bahwa nilai prediktif alat ini dapat bervariasi tergantung pada populasi pasien dan kondisi medis yang mendasarinya. Oleh karena itu, penilaian yang komprehensif terhadap riwayat medis pasien, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium tetap diperlukan untuk membuat prediksi yang akurat tentang ketahanan hidup dalam perawatan paliatif. 


Indeks Prognostik Paliatif (PPI) adalah alat yang telah dikembangkan untuk memprediksi kelangsungan hidup pada pasien kanker stadium lanjut yang menerima perawatan paliatif. PPI memperhitungkan tiga faktor klinis yang dapat dengan mudah dinilai: status kinerja, asupan oral, dan edema. PPI diberi skor pada skala dari 0 hingga 17, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih buruk.

PPI telah divalidasi dalam beberapa penelitian dan telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang dapat diandalkan pada pasien kanker stadium lanjut yang menerima perawatan paliatif. Dalam sebuah studi oleh Morita et al. (1999), PPI ditemukan memiliki akurasi yang baik dalam memprediksi kelangsungan hidup pada pasien dengan kanker stadium lanjut yang dirawat di unit perawatan paliatif. Pasien dengan skor PPI 0-4 memiliki kelangsungan hidup rata-rata 94 hari, sedangkan pasien dengan skor PPI 11-17 memiliki kelangsungan hidup rata-rata 7 hari.

PPI adalah alat yang berguna untuk dokter dalam perawatan paliatif karena dapat membantu mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapat manfaat dari manajemen gejala yang lebih agresif atau perencanaan perawatan akhir hidup. Namun, penting untuk dicatat bahwa PPI bukanlah prediktor definitif kelangsungan hidup, dan keadaan individu setiap pasien harus dipertimbangkan saat membuat keputusan pengobatan.


Skor Prognostik Glasgow (GPS) adalah alat sederhana yang menggabungkan dua nilai laboratorium, protein C-reaktif (CRP) dan albumin serum, untuk memprediksi kelangsungan hidup pasien kanker. GPS pertama kali dikembangkan pada tahun 2003 oleh McMillan et al. sebagai sarana untuk menilai dampak peradangan sistemik pada kelangsungan hidup pada pasien kanker.

GPS dinilai sebagai berikut:

    0: CRP < 10 mg/L dan albumin ≥ 3,5 g/dL
    1: CRP ≥ 10 mg/L atau albumin < 3,5 g/dL
    2: CRP ≥ 10 mg/L dan albumin < 3,5 g/dL

Pasien dengan skor GPS 0 memiliki prognosis terbaik, sedangkan pasien dengan skor GPS 2 memiliki prognosis terburuk. GPS telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker paru-paru, kanker pankreas, dan karsinoma hepatoseluler.

Dalam sebuah studi oleh Forrest et al. (2004), GPS ditemukan sebagai faktor prognostik independen yang signifikan pada pasien dengan kanker pankreas stadium lanjut. Pasien dengan skor GPS 2 memiliki kelangsungan hidup rata-rata 2,6 bulan, dibandingkan dengan 7,1 bulan untuk mereka dengan skor GPS 0 atau 1.

GPS adalah alat sederhana dan mudah diakses yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien kanker yang berisiko tinggi dengan kelangsungan hidup yang buruk. Ini dapat membantu dokter dalam membuat keputusan perawatan, termasuk perencanaan perawatan akhir hidup dan rujukan rumah sakit. Namun, perlu diperhatikan bahwa nilai prediksi GPS dapat bervariasi tergantung pada populasi pasien dan kondisi medis yang mendasarinya. Oleh karena itu, harus digunakan bersamaan dengan faktor klinis lainnya saat menilai prognosis pada pasien kanker.


Modified Glasgow Prognostic Score (mGPS) adalah modifikasi dari Glasgow Prognostic Score (GPS) yang mencakup nilai laboratorium tambahan, fibrinogen, untuk memprediksi kelangsungan hidup pasien kanker. mGPS dikembangkan berdasarkan hipotesis bahwa fibrinogen, sebagai penanda respon fase akut, dapat memberikan informasi tambahan mengenai prognosis di luar kadar CRP dan albumin.

mGPS dinilai sebagai berikut:

    0: CRP < 10 mg/L dan albumin ≥ 3,5 g/dL
    1: CRP ≥ 10 mg/L atau albumin < 3,5 g/dL
    2: CRP ≥ 10 mg/L dan albumin < 3,5 g/dL, dan fibrinogen ≥ 500 mg/dL

Pasien dengan skor mGPS 0 memiliki prognosis terbaik, sedangkan pasien dengan skor mGPS 2 memiliki prognosis terburuk. mGPS telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker kerongkongan, kanker kolorektal, dan kanker paru-paru non-sel kecil.

Dalam sebuah studi oleh Proctor et al. (2011), mGPS ditemukan sebagai prediktor independen kelangsungan hidup pasien dengan kanker kolorektal yang menjalani operasi kuratif. Pasien dengan skor mGPS 2 memiliki kelangsungan hidup keseluruhan yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor mGPS 0 atau 1.

mGPS adalah alat sederhana dan mudah diakses yang dapat memberikan informasi tambahan tentang prognosis pada pasien kanker di luar GPS. Namun, seperti GPS, nilai prediksi mGPS dapat bervariasi tergantung pada populasi pasien dan kondisi medis yang mendasarinya. Oleh karena itu, harus digunakan bersamaan dengan faktor klinis lainnya saat menilai prognosis pada pasien kanker.


Prognostic Nutritional Index (PNI) adalah alat yang menilai status gizi pasien kanker dan memprediksi prognosisnya. PNI dihitung berdasarkan dua nilai laboratorium, albumin serum, dan jumlah limfosit total (TLC), yang keduanya merupakan indikator status gizi dan kekebalan yang umum digunakan.

Formula untuk menghitung PNI adalah:
PNI = serum albumin (g/dL) + 5 x TLC (10^9/L)

Skor PNI berkisar dari 0 hingga 60, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan status gizi dan kekebalan yang lebih baik. PNI telah terbukti menjadi prediktor kelangsungan hidup yang andal pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker lambung, karsinoma hepatoseluler, dan kanker pankreas.

Dalam sebuah studi oleh Mohri et al. (2012), PNI ditemukan menjadi prediktor independen yang signifikan untuk bertahan hidup pada pasien dengan kanker lambung. Pasien dengan skor PNI kurang dari 40 memiliki prognosis yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor PNI 40 atau lebih tinggi.

PNI adalah alat yang sederhana dan mudah diakses yang dapat membantu dokter dalam mengidentifikasi pasien kanker yang berisiko tinggi terhadap prognosis buruk karena malnutrisi dan gangguan fungsi kekebalan tubuh. PNI dapat digunakan untuk memandu dukungan nutrisi dan mengoptimalkan perawatan pasien. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa PNI harus digunakan bersamaan dengan faktor klinis lainnya saat menilai prognosis pada pasien kanker, karena mungkin tidak dapat diandalkan pada populasi pasien tertentu atau dalam kondisi medis tertentu.


Supportive and Palliative Care Indicators Tool (SPICT) adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapat manfaat dari perawatan suportif dan paliatif. Ini dikembangkan untuk membantu dokter mengenali pasien dengan penyakit lanjut yang memiliki risiko perburukan tinggi dan yang mungkin memerlukan dukungan tambahan untuk mengelola gejala dan mempertahankan kualitas hidup mereka.

Alat SPICT menggabungkan beberapa domain kebutuhan, termasuk gejala fisik, status fungsional, dukungan sosial, dan kesejahteraan psikologis. Ini dirancang untuk digunakan dalam berbagai pengaturan klinis, termasuk perawatan primer, perawatan akut, dan layanan perawatan spesialis paliatif.

Alat tersebut terdiri dari serangkaian indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami perburukan dan yang mungkin mendapat manfaat dari perawatan paliatif. Indikatornya meliputi faktor-faktor seperti usia lanjut, beberapa komorbiditas, dan adanya gejala seperti nyeri, dispnea, dan kelelahan. Alat tersebut juga mencakup pertanyaan tentang status fungsional pasien, dukungan sosial, dan kesejahteraan psikologis, seperti apakah pasien mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari, hidup sendiri, atau memiliki gejala depresi atau kecemasan.

Alat SPICT dirancang agar sederhana dan mudah digunakan, dengan tujuan membantu dokter untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapat manfaat dari perawatan paliatif di awal perjalanan penyakit mereka. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan penilaian klinis, melainkan untuk memberikan kerangka kerja untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin berisiko tinggi mengalami perburukan dan yang mungkin mendapat manfaat dari dukungan tambahan dan pengelolaan gejala mereka.


Dasar filosofis perawatan paliatif didasarkan pada prinsip perawatan yang berpusat pada orang, yang menekankan pentingnya memahami dan menangani kebutuhan, nilai, dan tujuan individu pasien, bukan hanya mengobati penyakitnya. Pendekatan ini mengakui bahwa setiap pasien adalah unik dan membutuhkan perawatan individual, dan pengalaman penderitaan tidak hanya bersifat fisik tetapi juga emosional, sosial, dan spiritual.

Perawatan paliatif mengakui bahwa pasien yang menghadapi penyakit serius mungkin mengalami serangkaian gejala fisik, emosional, sosial, dan spiritual, seperti nyeri, kecemasan, depresi, isolasi sosial, dan tekanan eksistensial. Tujuan perawatan paliatif adalah untuk mengurangi gejala-gejala ini dan meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dengan memberikan perawatan holistik, penuh kasih, dan suportif yang menghormati nilai dan preferensi mereka.

Dasar filosofis perawatan paliatif ini diinformasikan oleh beberapa prinsip etis dan filosofis, termasuk penghormatan terhadap otonomi pasien, beneficence, non-maleficence, dan keadilan. Praktisi perawatan paliatif berusaha untuk bekerja secara kolaboratif dengan pasien, keluarga mereka, dan penyedia layanan kesehatan lainnya untuk mengembangkan rencana perawatan yang selaras dengan tujuan dan nilai pasien, dan yang memprioritaskan kenyamanan, martabat, dan kesejahteraan mereka.

Dasar filosofis perawatan paliatif berfokus pada pemahaman pasien sebagai individu yang unik dengan nilai, kepercayaan, dan tujuan mereka sendiri, dan pada penyediaan perawatan holistik yang memenuhi kebutuhan fisik, emosional, sosial, dan spiritual mereka. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip-prinsip etis dan filosofis yang memprioritaskan perawatan yang berpusat pada pasien dan menghormati otonomi dan martabat pasien.


Sementara dasar filosofis perawatan paliatif menekankan pentingnya interaksi pribadi dokter dengan pasien dan keluarganya, fokus utamanya adalah memahami pasien sebagai individu yang unik dengan kebutuhan, nilai, dan tujuan mereka sendiri. Peran dokter adalah memberikan perawatan holistik, penuh kasih, dan suportif yang menghormati martabat dan otonomi pasien, dan selaras dengan nilai dan preferensi mereka.

Bagian dari pendekatan ini melibatkan dengan hati-hati menghindari apa pun yang merendahkan individu, seperti memperlakukan pasien hanya sebagai kasus medis atau berfokus secara eksklusif pada penyakit atau gejala mereka. Sebaliknya, praktisi perawatan paliatif berusaha untuk membangun hubungan yang bermakna dan empatik dengan pasien dan keluarga mereka, mendengarkan cerita, kekhawatiran, dan aspirasi mereka, dan bekerja secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana perawatan yang memprioritaskan kenyamanan, kesejahteraan, dan kualitas hidup mereka.

Penekanan pada hubungan dokter-pasien dalam perawatan paliatif didasarkan pada prinsip komunikasi terapeutik, yang melibatkan mendengarkan secara aktif, empati, dan menghormati perspektif pasien. Pendekatan ini mengakui bahwa pengalaman penyakit serius tidak hanya bersifat fisik tetapi juga emosional, sosial, dan spiritual, dan bahwa kemampuan dokter untuk memahami dan mengatasi kebutuhan dan kekhawatiran pasien dapat berdampak besar pada kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Dasar filosofis perawatan paliatif tidak hanya berfokus pada interaksi pribadi dokter dengan pasien dan keluarganya, tetapi lebih pada memahami pasien sebagai individu yang unik dengan kebutuhan, nilai, dan tujuan mereka sendiri. Peran dokter adalah untuk memberikan perawatan holistik, penuh kasih, dan suportif yang menghormati martabat dan otonomi pasien, dan itu selaras dengan nilai dan preferensi mereka, sambil menghindari apa pun yang merendahkan individu.


 

 

 

IKA SYAMSUL HUDA MZ, MD, MPH
Dari Sebuah Rintisan Menuju Paripurna
https://palliativecareindonesia.blogspot.com/2019/12/dari-sebuah-rintisan-menuju-paripurna.html

Popular Posts